Agama dan Demokrasi

 On Selasa, 15 Juli 2014  

                                             Agama dan Demokrasi

Masdar Hilmy  ;   Dosen Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya
KOMPAS,  16 Juli 2014
                                                


SATU pertanyaan krusial yang belum terurai secara memuaskan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah bagaimana agama dibawa ke dalam ruang-ruang demokrasi agar kehadirannya tidak kontraproduktif dengan prinsip-prinsip dasar ketatanegaraan kita? Hal ini penting mengingat konstruk negara ”bukan-bukan” (bukan sekuler dan bukan agama) yang dianut konstitusi kita jelas memberikan ruang kosong bagi para pialang dan petualang politik untuk meletakkan agama dalam posisi sesuka hati mereka.

Konstitusi kita memang tidak melarang siapa pun untuk membawa agama ke ranah politik-demokrasi. Namun, penafsiran dan penempatan yang salah atas agama dalam ruang-ruang demokrasi bukan hanya dapat mengantarkan bangsa ini pada involusi peradaban, melainkan juga pada tebing kehancuran. Oleh karena itu, bangsa ini harus cerdas mengonstruk pola relasi agama-demokrasi yang tepat agar kehadiran agama benar-benar bisa menjadi rahmat bagi semua dan membimbing bangsa ini ke arah lebih baik.

Politik sublimasi

Pembacaan yang salah atas peran agama dalam ruang politik-demokrasi terefleksikan secara sempurna pada pilpres yang baru saja berlangsung ketika sejumlah elite menyeret dengan paksa simbolisme agama untuk meraih simpati dan dukungan publik kepada capres-cawapres tertentu. Menguatnya simbolisme agama jelas bukan pelanggaran atas konstitusi. Sepanjang tidak dieksploitasi untuk hal-hal yang dapat menggerogoti spirit demokrasi, seperti kampanye hitam, pemanfaatan isu-isu agama untuk kepentingan politik bukanlah kejahatan yang dapat dipidanakan.

Persoalannya, politik simbolisme agama dalam pilpres sering kali tidak lebih dari sekadar eksploitasi sentimen keagamaan untuk meraih dukungan publik. Fenomena ini tidak ada bedanya dengan ”agama untuk kekuasaan”, bukan ”kekuasaan untuk agama”.

Meminjam istilah Khaled Abou el-Fadl (2005), eksploitasi agama untuk kepentingan yang tidak agamis merupakan bentuk ”pembajakan besar-besaran” (great theft) atas doktrin agama untuk hal-hal yang tidak selaras dengan misi profetik-liberatif agama. Agama yang semestinya dibawa untuk mengejawantahkan idealisme peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan universal justru dibajak untuk tujuan-tujuan profan yang sempit, dangkal, dan libidinal.

Salah satu tafsir mengapa sejumlah elite masih mengeksploitasi agama untuk kepentingan politik-kekuasaan adalah karena di balik langkah mereka tersembunyi apa yang disebut sebagai politik sublimasi. Yakni, sebuah taktik dan strategi politik untuk mengalihkan mata publik dari sesuatu yang sesungguhnya menuju sesuatu yang semu, palsu, dan menipu. Sesuatu yang palsu itu bisa berupa ketidakmampuan melakukan hal-hal yang semestinya atau terdapat tendensi untuk menutupi berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada.

Politik sublimasi, dengan demikian, merupakan strategi pengalihan untuk sekadar melakukan idkhal al-surur (menghibur) khalayak ramai. Melalui politik sublimasi, sejumlah elite berharap dapat memuaskan sisi sentimentalisme dan primordialisme konstituen di sebuah negara yang masih kental nuansa religiusnya. Artinya, berbagai kelemahan dan kekurangan dari pasangan capres tertentu diharapkan dapat tertutupi oleh politik pengalihan semacam ini.

Sekalipun bukan pelanggaran terhadap konstitusi, politik sublimasi menjadi salah satu ”lubang hitam” demokrasi kita yang masih bekerja pada aras mayoritarianisme. Pemanfaatan agama untuk kekuasaan menjadi masalah laten di banyak negara yang baru belajar berdemokrasi (David I. Kertzer, Ritual, Politics, and Power, 1988). Bahkan, di sejumlah negara kampiun demokrasi seperti AS, politik sublimasi merupakan salah satu strategi yang dibangun antara elite dan konstituen menjelang pemilu yang harus direalisasikan jika calon tertentu benar-benar memenangi kontestasi politik.

Sekalipun tak persis sama, strategi semacam ini mengingatkan kita pada politik ”laras babi” (pork barrel) dalam lanskap demokrasi AS (Robert M Stein & Kenneth N Bickers, Perpetuating the Pork Barrel, 1995). Politik jenis ini didefinisikan sebagai kebijakan pemerintah terpilih untuk mengalokasikan anggaran bagi konstituen yang telah berjasa mengantarkan mereka pada tampuk kekuasaan. Pada awalnya, tradisi politik ”laras babi” dianggap wajar. Namun, setelah perang sipil (1865), politik semacam ini dianggap tercela.

Dalam banyak hal, politik ”laras babi” masih menjadi tradisi yang dianggap wajar di republik ini. Pembangunan infrastruktur sering kali menjadi ”imbalan politik” bagi konstituen yang dianggap telah berjasa mengantarkan kontestan tertentu menuju kemenangan dalam pemilu. Akibatnya, konstituen yang gagal memenangkan kontestan cenderung dibiarkan merana tanpa sentuhan pembangunan sebagai bentuk ”hukuman” politik. Kasus paling ekstrem adalah dimintanya kembali ”investasi” politik yang telanjur ditanamkan oleh sejumlah kontestan tertentu yang gagal dalam pemilu. Sebuah perilaku tak terpuji sekaligus memuakkan!

Melampaui simbolisme

Membawa agama ke dalam ruang-ruang demokrasi bukan sekadar mencari pembenaran transendental tentang keabsahan demokrasi sebagai the only game in town. Bukan pula sebatas mengeksploitasi simbolisme agama untuk mendongkrak perolehan suara dalam pemilu. Atau, membawa agama hanya sekadar untuk menutupi kelemahan, kekurangan, dan ketidakmampuan melakukan hal yang semestinya. Lebih dari itu; bagaimana agama secara subtil melandasi setiap gerak demokrasi sehingga keduanya bersenyawa ke dalam sebuah adonan kebudayaan dan peradaban profetik, liberatif, dan transformatif untuk seluruh elemen bangsa.

Cukup adalah cukup untuk politik ”laras babi” di negeri ini. Eksploitasi dan berbagai bentuk instrumentalisasi agama secara gencar pernah dilakukan rezim Orde Baru paruh kedua masa kekuasaan Soeharto. Berbagai kebijakan akomodatif terhadap umat Islam sebenarnya tidak lebih dari sekadar politik sublimasi untuk menutupi dosa-dosa, kelemahan, dan kekurangan Orde Baru, seperti kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) serta otoritarianisme (Adam Schwarz, A Nation in Waiting, 1984).

Namun, politik sublimasi telah berhasil melenakan dan membutakan mata masyarakat atas berbagai dosa dan kekurangan rezim Orde Baru. Bahkan, kini sebagian masyarakat dengan mudah melupakan dosa-dosa tersebut. Sependek itukah memori kolektif bangsa ini? Agama, dengan demikian, sama sekali tak dilarang untuk dibawa ke ranah politik-demokrasi. Namun, dimensi yang dibawa dari agama bukanlah aspek simbolisme-eksoterik yang hanya menyentuh kulit permukaan saja, seperti cara berpakaian dan berbagai bentuk lifestyle lainnya.

Lebih dari itu, aspek yang dibawa dari agama adalah semangat universal-esoterik yang menganjurkan setiap manusia untuk menghargai kehidupan, merayakan perbedaan, merestorasi akal sehat, serta menaklukkan segala bentuk kejahatan, kebengisan, dan kebiadaban. Inilah semangat profetik-liberatif-transformatif agama yang layak diusung dalam setiap peristiwa demokrasi, terutama pilpres. ●
Indeks Prestasi
Agama dan Demokrasi 4.5 5 Arjuna Cellular Selasa, 15 Juli 2014                                              Agama dan Demokrasi Masdar Hilmy  ;     Dosen Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel, S...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar